LIPUTANKUTIM.COM, SANGATTA – Dalam kunjungannya ke Desa Manubar Kecamatan Sandaran, DPRD Kutai Timur menemukan banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang nakal, misalnya membangun kebun diluar Hak Guna Usaha (HGU) dan tidak memberikan hak – hak karyawannya, seperti cuti hamil bagi karyawan perempuan, gaji dibawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) hingga sengketa lahan dengan warga.
Ketua DPRD Kutim Mahyunadi yang memimpin kunjungan kerja ke Manubar, dalam wawancaranya dengan sejumlah Media di gedung DPRD Kutim, mengatakan, perusahan perkebunan teridentifikasi banyak yang nakal. Nakal dan berbagai hal. Mulai membangun kebun diluar hak guna usaha (HGU), termasuk tidak memberikan hak buruh sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Sebagian besar perusaan perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit di Kutai Timur itu tidak memberikan hak karyawan sebagai mana dalam UU. Termasuk membangun kebun diluar hak guna usaha miliknya,” kata Mahyunadi dari Fraksi Partai Golkar
Dikatakan Mahyunadi, banyaknya aksi demo karyawan perkebunan kelapa sawit, itu karena dipicu masalah tuntutan hak buru yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seperti UMR, status karyawan tidak jelas, termasuk jaminan kesehatan dan jaminan hari tua, banyak terabaikan.
“ Yang sering demo unjukrasa ke DPRD kan karyawan perkebunan kelapa sawit. Itu karena masalah kesejahteraan, masalah kesewenang-wenangan perusahaan terhadap karyawannya”kata Mahyunadi mantan Ketua Partai Golkar Kutim dan Ketua DPD KNPI Kutim.
Untuk pembangunan kebun diluar HGU, kata Mahyunadi juga banyak. Bahkan, baru-baru ini pihaknya melakukan cros cek ke lokasi kebun di Kecamatan Sandaran, ternyata, di sana, ada sekitar lima perusahan yang melanggar HGU.
“Ada lima Perusahaan Perkebunan Sawit di Sandaran membangun kebun diluar HGU, bahkan ada rumah warga masuk HGU. Ini yang membuat masalah”tegasnya
Hanya saja kata dia,apa yang ditemukan di lapangan, saat di cross chek ke Badan Pertanahan, ternyata badan pertanahan nasional (BPN) tidak mau berikan izin lokasi bagi DPRD, untuk memastikan batas lokasi perusahan berdasarkan HGU. Padahal, dena lokasi bukan dokumen rahasia.
“Jadi kami berkesimpulan, di situ saja, ada kejanggalan. Karena itu, kami sepakat dengan pemerintah untuk sama-sama turun ke lepangan, untuk memastikan lokasi HGU perusahan. Kebun perusahan yang keluar dari HGU, harus dikembalikan ke negara, namun sawitnya tidak dicabut, tapi diserahkan ke masyarakat untuk jadi kebun plasma. Jadi tidak ada yang dirugikan, perusahan tidak rugi tanam, sementara masyarakat juga tidak rugi,” katanya.
Dan temuan yang sangat mencolok di Sandaran, ada kebun, rumah masyarakat masuk HGU. “Ini jelas tidak baik. Seba masyarakat sudah bermukim disana turun temurun, lalu dimasukkan HGU, lalu masyarakat mau buat apa. tapi itu kesalahan masa lalu. Jadi nantinya, setelah dilakukan peninjauan lapangan bersama dengan pemerintah, untuk memastikan batas HGU, maka kesalahan masalah lalu seperti itu, harus diperbaikai,” katanya. (ADV/liku/*)